Petasan Januari
Kita kerap merayakan kebahagiaan
Setelah melewati setahun perjalanan
membakar petasan duka
Seperti melepas beban
Namun, kita pun kerap lalai
bahwa petasan Tuhan lebih memesona
bila kita patuh arus kehidupan
Mungkin benar, kita insan serakah
mengeruk alam tanpa merasa cukup
seakan cukup itu tak pernah ada
hingga tibalah petasan Tuhan
mengguncang perhiasan-perhiasanmu
Tanah meledakkan batuk-batuk kecilnya
di ruang rumahmu
dan kau berkata Tuhan tak lagi sayang
Petasan itu adalah jelmaan batuk bumi
yang lelah menjadi saksi kecurangan kita
Sarjo, 22 Januari 2021
Kata Pengantar
Kau buku dengan tema fiksi
mampu mengaduk perasaan pembaca
tanpa membocorkan alur cerita
dan tokoh utama kau buat menderita
Bahasamu puitik
layaknya Nizar Qabbani
merangkai diksi cinta
entah mengapa aku terperangkap
dalam imajinasimu
Di akhir cerita kau buat ending
dengan pola plot twist
kupikir berakhir bahagia
nyatanya tanda tanya
seperti takdir yang belum terjawab
Aku tahu, aku bukan pembaca yang baik
menarik kesimpulan terburu-buru
bukankah itu cara yang salah?
Sarjo, 31 Maret 2021
Sampul Belakang
Di sampul belakang ini
pedih perih sebagai sinopsis
mengiris-iris mata pembaca
kehidupan
Kau melempar tanya
"Apa yang kita rayakan pada penutup tahun?"
menyambut januari
pembuka bulan-bulan lalu
yang sebelum itu pernah dilewati
dengan setumpuk rencana usang
tahun ini
belum berwujud
Di sampul belakang ini
kita mengulang-ulang ingatan lama
meski kalender berganti baru
Sarjo, 01 Januari 2022
Tak Seramah Dulu
Kau mengalun penuh damai
saat tinta Tuhan memahat takdir menjadikan hidup berombak biru
yang di atasnya berlayar biduk-biduk tenang
arusmu lagu bagi lelap malam burung-burung
berpadu desir lembut angin
sebagai penghibur lara nelayan
tetapi kau tak seramah itu lagi
setelah tangan-tangan binatang
merakit dosa di rahimmu
hingga asin yang kunikmati terasa asing
kau mengalun dengan amarah
memorak-porandakan gedung gadang keserakahan yang serakah
tepat di hari mereka berpesta
Anak-anak berjiwa embun itu pun ikut binasa
merasakan apa yang tak mesti dirasa
karam bersama impian mereka yang platina
Bukan tentang penolakan takdir
tapi ini perihal siapa yang berhak menerima buah tangannya
seperti kata ibu
"Hukuman itu seperti mandi, cukup kita saja yang basah"
Sarjo, Mei 2021
Biduk 1
Aku berlayar sepanjang usia
melintasi pulau pulau kecil kehidupan
menyelami setiap kegagalan, bangkit, dan bertahan
seperti ikan ikan
Asin yang kuteguk berkali kali
tak juga mengubahku jadi pelaut tenang
setelah gelombang kemiskinan mengombang-ambing
Aku tak henti mendayung harap
sebab kuyakin mutiara rezeki telah Tuhan tetapkan
tapi hingga saat ini
aku belum tiba di tujuan
Atau mungkin aku tak akan pernah
ada di pulau itu
Sarjo, 07 September 2021
Baca juga: puisi Membaca Usia di sini
0 Komentar