Aku Bukan Jodohmu (Cerpen)

        sumber: pinterest.com

Aku Bukan Jodohmu
Lidiamoo


    Udin khawatir gagal menikahi Dian, gadis cantik yang baru saja lulus SMA, yang sudah dipacarinya setahun ini. Konon tante Dian, ibu Fatma sebagai pengganti ibunya hendak menerima lamaran anak temannya, yang berprofesi polisi.

Dan benar saja, dua hari setelah cerita itu tersebar, Hendrik dan keluarganya datang melamar Dian. Fatma dengan senang hati langsung menerima lamaran tersebut tanpa mendengar persetujuan Dian yang hanya diam di sampingnya. 

Dan hari itu juga, orang tua Hendrik membahas hari yang baik untuk pernikahan anak sulungnya. 

"Lebih cepat, lebih baik kan, bu Fatma. Bagaimana kalau bulan depan saja?"

"Saya setuju, bu Halima. Biar tak ada kesempatan pria lain untuk menikung." kata Fatma sambil melirik Dian yang sejak tadi melamun, seperti TV yang ada gambar tapi tak bersuara.

Sedang di tangannya, HP berkedip-kedip tanda ada pesan WA yang masuk. Ia membuka dengan harapan itu pesan dari kekasihnya, Udin. Wajahnya bersinar setelah ia membaca nama Udin di kotak masuk, tanpa memerhatikan wajah calon suami di hadapannya, Dian membalas pesan Udin dengan perasaan senang bercampur cemas. Hingga Hendrik pamit pun, Dian tidak menghiraukan. Fatma yang melihat kelakuan ponakannya sudah yakin kalau Udin yang jadi pelaku utamanya.

"Kasi tau pacarmu si Udin itu, jangan berharap lagi. Kamu itu kan sudah dilamar. Calonmu polisi, ganteng, berduit, kurang apa coba dibandingkan si Udin yang jelek. hitam, dan pebisnis tidak jelas itu."

"Dia sudah tahu kok, Tante. Maaf, Tante. Yang namanya cinta tidak pernah memilih rupa, asalkan dia setia dan mau bertanggungjawab itu sudah luar biasa."

"Dian, hidup itu butuh uang. Dan itu sudah dimiliki Hendrik, calon suamimu. Kau akan bahagia bersamanya, bukan dengan Udin. Tante lakukan ini buat masa depanmu, Nak. Putuskan pacarmu itu, atau kalau kamu tetap nekat berhubungan dengan dia, tinggalkan saja Tante, pergilah!"

Dian menunduk bingung, ia tak mungkin tega meninggalkan tante yang merawatnya seperti anak sendiri sampai sebesar ini. Tanpa bicara, ia pelan-pelan masuk kamar meninggalkan tantenya yang masih tetap di posisinya, sofa ruang tamu.

HP kembali berdering, dan itu lagi-lagi dari Udin. Dian hanya menatap, tak menerima panggilan itu. Setelah bosan mendengar dering HP yang berisik, ia menolak dengan mengetik pesan WA.

"Izinkan hati saya istirahat sejenak, bang! hari ini benar-benar melelahkan perasaan."

Di seberang sana, Udin tak tenang membaca WA kekasihnya. Ia memutar otak bagaimana caranya menikahi Dian segera, menikung Hendrik. Tetiba akal sehatnya dirasuki pikiran sesat. Ia mengingat tawaran temannya ke rumah mak Cenna, dukun tetangga kampung yang pandai jampi-jampi agar cewek yang dicintai selalu mengingatnya, dan tak ingin menikah kecuali dengannya.

***

Dengan modal nekat, pergilah Udin ke rumah dukun itu. Setelah tiba, ia disambut seekor kucing di halaman rumah. Belum sempat ia ketuk pintu,  mak Cenna sudah lebih dulu membukanya, seperti sudah tahu ada tamu di depan.

Udin terkejut, ditambah lagi saat matanya bertemu dengan mata mak Cenna. Syukurlah dukun tersebut mahir menenangkan takutnya, hingga kekakuan yang tampak di wajah Udin berubah senyum.

Setelah dipersilakan masuk, dan disuguhi berbagai macam pertanyaan, Udin dengan penuh keberanian menceritakan masalahnya, kekasihnya dilamar dan akan segera menikah dengan orang lain.

"Jadi begini, Mak. Saya ke sini untuk minta bantuan, saya punya pacar yang sangat saya cintai, tetapi tante gadis itu tidak pernah setuju dengan hubungan kami, Mak. Ia berusaha memisahkan saya dengan menjodohkan pacar saya dengan anak temannya. Tolong beri saya jampi-jampi ampuh agar ia batal nikah dengan orang itu, Mak."

Bicara dengan mak Cenna seperti sedang curhat ke ibunya sendiri. Udin pun tak lagi memikirkan apakah cara ini sesat atau tidak. Di kepalanya hanya ada Dian dan pernikahan. Ia merasa malu bila tidak menikahi kekasihnya, sedang berita pacarannya sudah tersebar satu kampung.

Mak Cenna yang mendengar kepolosan Udin hanya tersenyum. Ini bukan kasus pertama yang ditemuinya, bahkan bisa dibilang paling banyak, dan bukan hanya cowok saja, cewek pun beberapa kali datang meminta jampi-jampinya. Selain ramah, mak Cenna juga tidak memberatkan, cukup membawa beras dan seekor ayam putih saja. Sangat cocok bagi Udin, yang kerjanya sebagai pedagang udang pasaran biasa.

"Baiklah, Nak. Saya akan memberimu sebotol air yang sudah saya jampi, kamu cukup mencuci mukamu dengar air ini saat mau ketemu pacarmu itu. Ini ambillah!" 

"Terima kasih, Mak."

Udin segera mengambil botol air yang disodorkan mak Cenna, sambil mencium tangannya dengan senyum penuh harap.

***

Seminggu lagi acara pernikahan Dian dan Hendrik. Udin belum juga berhasil menemui kekasihnya. Entah kenapa nomor Dian tak bisa dihubungi. Perasaan Udin semakin gelisah, sesekali ia berpikir mengunjungi rumah tante Fatma, tetapi itu mustahil baginya, pasti ia tak diizinkan bertemu Dian. Apalagi sudah ada penjagaan khusus di rumah itu, Hendrik meminta teman polisinya memantau setiap hari.

Karena rindu yang mendesak, tak ada jalan lain bagi Udin selain mendatangi rumah Dian. Sebelum pergi, ia ingat pesan mak Cenna untuk membasuh wajahnya ketika hendak bertemu Dian.

Setelah ritualnya selesai, berangkatlah Udin ditemani motor kesayangan. Kurang lebih satu jam, tibalah ia di kompleks perumahan tempat Dian tinggal. Seperti pengawas, Udin mengamati kiri-kanan, depan-belakang, mencari tempat aman baginya untuk masuk ke rumah itu.

Belum sempat ia memasuki rumah, tetiba orang-orang berlarian menuju kamar, di mana Dian berada di dalamnya. 

"Cepat, bawa ke RS terdekat!" teriak seorang ibu dengan nada khawatir, yang tak lain adalah suara ibu Fatma.

Kedua polisi yang berjaga depan pintu, segera mengangkat Dian. Sedang di luar, Udin gemetar dengan perasaan membuncah, airmatanya tak bisa dibendung. 

Empat jam kemudian, terdengar berita di sosial media, seorang perempuan terbaring kaku di kamarnya, tanpa ada yang tahu penyebabnya.

***


   

                          













Posting Komentar

0 Komentar