Puisi Lidia | Rumah Tua


Ilustrasi: doc.pribadi



Rumah Tua

Tangis tawaku mencurah 
tertampung dalam tiap bilik rumah
mungkin sebagai cat
atau cap hari tua

Kulihat pintu tetap pada tempatnya
yang sejak kecil kubuka dan tutup
kini masih menyambut 
seperti pengingat usiaku kian dewasa 

Jendela-jendela mulai keriput
tak terawat lagi  
tangan yang dulu gesit
sudah tak mampu menata rambut sendiri

Rumahku kehilangan warna
tapi ibu selalu ada
memberi pelangi dalam dekap
ketika aku pulang
   
Kelak, aku pun menjelma rumah
menghimpun gelap terangnya kisah 
anak-anak

Sarjo, 08 Desember 2021





Langit Malam Itu

Di atas sana, 
ada yang mengamati sujud
berisi bisikan mimpi 
yang kaukemas dalam doa
membujuk kasih Tuhan 

Sedang di beranda
binar rembulan memantul rindu
menyinari masa-masa berlalu 
yang kini kau dongengkan
untuk anak-anakmu 
sebagai pengantar masa depan

Segala kebaikan kautabur
layaknya bintang-bintang penghias kelam
kaucipta cahaya di pundaknya
dengan segudang harap
mampu menerangi hari-harimu
di masa tua

Perjuanganmu itu 
seperti kisah seribu satu malam
yang tak pernah selesai dieja
meski zaman berganti rupa  

IBU!
Kau langit malam yang selalu sabar 
menanti sinar bintang-bintangmu 
terang di gelapnya kehidupan

Sarjo, 06 Desember 2021





Suara Sunyi

Aku di sini
dalam ruang pustaka kebisuan
menyuarakan lembaran-lembaran riwayat 
yang mungkin tak pernah kau dengar 
pada ruang-ruang nada lagumu

Ini bukan do-re-mi
yang kau suarakan dalam rekaman karaoke
sebagai penghibur segala resah
yang tak mau senyap sejenak

Ini tentang sunyi
yang bersuara di dada perempuan 
tak sanggup terucap
sebab lukanya begitu kuat mengunci
dan kau memahami itu biasa saja 

Aku di sini
Belajar mengerti buku ibu-ibu
yang terisak dalam ketabahan
sebagai budak 

Sarjo, 07 Desember 2021




Daun

Angin kembali memetik dedaunan
menerbangkan jauh dari mata rantingnya
ada yang mengelus rambut
dan juga menampar wajahku

Daun hijau seperti usia muda 
meluruh meninggalkan ibu 
di mana tangannya tak mampu lagi 
saling mendekap tubuh
hanya terbaring di atas tanah basah
melambai sekejap lalu pergi
mengikuti arah takdirNya

Daun kering ibarat masa tua
yang dengan ikhlas jatuh sesuai tempo umurnya
menurut kemana angin membawanya
di depanku atau di depan orang-orang
yang sedang menyapu airmata

Di musim ini
napas kita layaknya daun-daun itu
yang mesti siap jatuh ke liang
berpisah dan dipisahkan 

Sarjo, 10 Desember 2021





Baca juga: puisi Jalesveva Jayamahe di sini

Posting Komentar

0 Komentar