Cara Hati Bekerja || Puisi Lidia

Ilustrasi: pexels.com/Nadezhda



Cara Hati Bekerja

Tubuh basah bergantung 
di sepanjang jemuran
ketika kepalaku baru saja usai 
melepas dirimu 
menjamur di ingatan

Hujan di dadaku pun mulai reda
meski di telinga masih ada 
tetesan kata-katamu meleleh
kubiarkan matahari itu 
membakar segala resah
dan diam jadi pilihan
penenang sesaat 
sebelum kau dan aku menjelma 
pengacau alam, 
menembak burung-burung 
merdu berkicau,
setia melayangkan doa-doa pengabdian.

Setelah terik ditutupi mendung
kau memilih menawar maaf padaku
dunia seluas angan ini katamu
tak seharusnya mengubah 
sikap kita menjadi angin
berlalu tanpa menyapa

Jauh di seberang sana
kuikhlaskan semua kata menjarum itu
lalu mencoba bersinar lagi
meski musim hujan menemani
sebab kuyakin matahari akan menyala
saat awan selesai menumpah tangisnya

Begitulah cara hatiku bekerja!

Sarjo, 5 November 2022





Mencatat Usia

Pada lembaran waktu 
kucoba mencatat ingatan 
tentang perjalanan panjang berliku
juga lubang-lubang tempatku terjatuh

Angka 22, dengan semangat muda kujinjing segala impian memuncak
hingga bumbu kegagalan mengajariku menambah asin perjalanan

Angka 25, emosi  bagai suhu pada air mendidih, meningkat melulu
tapi kau abai menuntun, membiarkan kecewa membakar diriku

Dulu sebelum usia mengajak pikiranku dewasa, kau tak memberiku bekal sedikit pun untuk mempersiapkan diri, hingga setelah waktu tua mencapaiku, aku telah menjadi cacing kelaparan tanpa tahu mencari makanan sendiri.

Sarjo, 1 November 2022





Hanya Persinggahan

Sebelum tangismu memecah kesunyian bumi
kau telah tumbuh beredar di pusat ibumu
mengintip matahari, mengutip debur ombak, berlari memutar ari-ari
hingga tiba detik-detik 
pintu dunia itu terbuka untukmu
dan kau pun menjerit 
menggenggam janji Tuhan
seperti tak ingin dilahirkan kedua kali

Doa ibu mengalir bersama tetesan merah 
menyambut napasmu berembus menyentuh tubuh gigilnya 
yang berkeringat lemah 
lalu menumpahkan airmata
mungkin sebagai jalan 
menjaga titipan
atau berjuang menanggung gelar ibu yang melekat dalam dirinya

Tangan ibumu serupa arus sungai Nil
mengayun lembut Musa
lalu kau pun terlelap dalam dekap
tanpa takut dihanyutkan mimpi

Dan setelah kau terbangun 
kau tatap wajah ibumu
serupa rumah teduh 
yang kelak selalu kau rindu
ketika jauh menjadi keluh
di mana pintunya terbuka menunggu 

Tetapi dalam kefanaan ini
ibu hanyalah persinggahan
yang bisa kau jenguk 
pada bait-bait doamu
di masa kepulangannya

Sarjo, 14 Oktober 2022






Baca juga: Puisi Mengintip Pagi Ibu di sini




Posting Komentar

0 Komentar