Petasan Januari (Puisi)

 
Ilustrasi: pixabay.com




Petasan Januari

Kita kerap merayakan kebahagiaan
Setelah melewati setahun perjalanan
membakar petasan duka 
Seperti melepas beban

Namun, kita pun kerap lalai
bahwa petasan Tuhan lebih memesona
bila kita patuh arus kehidupan

Mungkin benar, kita insan serakah
mengeruk alam tanpa merasa cukup
seakan cukup itu tak pernah ada
hingga tibalah petasan Tuhan 
mengguncang perhiasan-perhiasanmu

Tanah meledakkan batuk-batuk kecilnya
di ruang rumahmu
dan kau berkata Tuhan tak lagi sayang 

Petasan itu adalah jelmaan batuk bumi
yang lelah menjadi saksi kecurangan kita

Sarjo, 22 Januari 2021



Kata Pengantar

Kau buku dengan tema fiksi 
mampu mengaduk perasaan pembaca
tanpa membocorkan alur cerita
dan tokoh utama kau buat menderita

Bahasamu puitik
layaknya Nizar Qabbani 
merangkai diksi cinta
entah mengapa aku terperangkap
dalam imajinasimu

Di akhir cerita kau buat ending 
dengan pola plot twist
kupikir berakhir bahagia
nyatanya tanda tanya
seperti takdir yang belum terjawab 

Aku tahu, aku bukan pembaca yang baik
menarik kesimpulan terburu-buru
bukankah itu cara yang salah?

Sarjo, 31 Maret 2021



Sampul Belakang

Di sampul belakang ini
pedih perih sebagai sinopsis
mengiris-iris mata pembaca
kehidupan

Kau melempar tanya
"Apa yang kita rayakan pada penutup tahun?"
menyambut januari 
pembuka bulan-bulan lalu 
yang sebelum itu pernah dilewati 
dengan setumpuk rencana usang
tahun ini
belum berwujud 

Di sampul belakang ini
kita mengulang-ulang ingatan lama
meski kalender berganti baru

Sarjo, 01 Januari 2022



Tak Seramah Dulu

Kau mengalun penuh damai
saat tinta Tuhan memahat takdir menjadikan hidup berombak biru
yang di atasnya berlayar biduk-biduk tenang

arusmu lagu bagi lelap malam burung-burung
berpadu desir lembut angin
sebagai penghibur lara nelayan

tetapi kau tak seramah itu lagi
setelah tangan-tangan binatang
merakit dosa di rahimmu
hingga asin yang kunikmati terasa asing

kau mengalun dengan amarah
memorak-porandakan gedung gadang keserakahan yang serakah
tepat di hari mereka berpesta

Anak-anak berjiwa embun itu pun ikut binasa
merasakan apa yang tak mesti dirasa
karam bersama impian mereka yang platina

Bukan tentang penolakan takdir 
tapi ini perihal siapa yang berhak menerima buah tangannya
seperti kata ibu
"Hukuman itu seperti mandi, cukup kita saja yang basah"

Sarjo, Mei 2021



Biduk 1

Aku berlayar sepanjang usia
melintasi pulau pulau kecil kehidupan 
menyelami setiap kegagalan, bangkit, dan bertahan
seperti ikan ikan 

Asin yang kuteguk berkali kali
tak juga mengubahku jadi pelaut tenang 
setelah gelombang kemiskinan mengombang-ambing

Aku tak henti mendayung harap
sebab kuyakin mutiara rezeki telah Tuhan tetapkan
tapi hingga saat ini
aku belum tiba di tujuan

Atau mungkin aku tak akan pernah 
ada di pulau itu

Sarjo, 07 September 2021



 

Baca juga: puisi Membaca Usia di sini

Posting Komentar

0 Komentar