Yang Tak Memilih Rupa
Mentari itu bersinar
tanpa peduli terangnya
bisa kulihat atau tidak
seperti doa
yang tak memilih rupa
Impianku tetap tinggi menjulang
meski ada yang merendahkan
kulangitkan berulang-ulang
sekuat angin bertiup kencang
mengetuk pintu Tuhan
Kuraba-raba kertas
maksud hati hendak menggores
bait-bait puisi
lalu kubacakan padamu
agar kau tahu
caraku memahami bahasamu
Ibu, satu kalimat telah berhasil kutulis
sebagai capaianku hari ini
"Aku mencintaimu"
Apa aku mesti melihatmu
untuk bisa dianggap ada?
Sarjo, 28 Juli 2021
Lemari Tua
Aku resah memandang kakinya lemah
menumpuk tabungan sejarah
berdebu di tengah anak anak yang memicing
buta pendidikan
Tahun tahun berganti gugurkan adab
sedang di tubuhnya buku telah berkutu
tak tersentuh
Rak rak itu serupa pajangan tak bermakna
padahal segudang pengetahuan memekik minta dibaca
tapi telinga yang terbuka
telah tertutup rapat
seperti pintu kehilangan kunci
Aku kembali memandang rupanya yang lesuh
ketika seorang anak membanting sapu
tak diberi uang
lalu rak itu patah, memuntahkan segala isinya
sebelum sempat berkata padaku
"Bacalah!"
Sarjo, 24 April 2021
Cinta Dalam Ragaku
Kita telah diciptakan sebagai satu tubuh utuh
di mana namamu bak jantung
memompa rasa
dan darahku menyatu dalam raga cinta
peluru-peluru zionis tak akan bisa memutus ikatan kita
Mata ini, turut menemani matamu menitikkan hujan
telinga pun ikut mendengar dentuman, jeritan, yang kerap menyayat
dan jemariku siaga membalut duka citamu
Doa-doa terus membasahi bibir
kukemas untukmu dalam sujud panjang
sebagaimana ibu mendoa
meminta perisai bagi anak-anaknya
Aku mencintaimu seperti cintamu membentengi rumah suci
Sarjo, 17 Juni 2021
Musafir 1
Kita berjalan menyusuri padang kehidupan
memikul butiran pasir kenangan
paling dosa
dalam tiap-tiap detak jantung waktu
Di sepanjang perjalanan, kaki kerap melangkah tak seirama suara hati
saat fatamorgana dunia menyilau
dan kita tersesat jauh dalam rimbanya
Kau terpesona seperti Hawa yang memetik khuldi
sedang aku meragu, bertanya pada debar jantung
"Apa ini halal?"
Sebelum semua terjawab, akal mesti sepakat
"Kita ini hanya musafir di tengah padang, akan pergi saat tiba waktunya."
Sarjo, 15 Maret 2021
Kursi
Anak berseragam merah putih bercerita padaku
ia belajar dengan menumpang duduk di bangku teman
orang orang berebut dan melabeli kursi dengan nama masing masing
dan yang lain tak boleh meminjam
tanpa terlebih dahulu membantu kerja tugas dari guru
Tetiba ingatanku merambah
membuka cerita lama
belajar dengan buku di lantai
sambil meliput penjelasan guru
yang ilmunya pelan pelan luntur
aku pun jarang memiliki kursi
di sekolah
sebab kutahu memilikinya tak akan bisa mengubah garis nasib
Aku juga pernah berebut kursi
mengambil posisi paling depan
tapi ternyata kursi itu mengantarkan hidupku di masa sekarang
menjadi seseorang yang tak berkursi
dan pengangguran
Sarjo, 09 09 2021
Di Persimpangan
Aku di sini
di persimpangan masa lalu masa depan
berhenti melangkah
menelisik rambu rambu
hening, tak ada yang berlalu
Dulu, kupikir hidup ini lurus
selalu mengarahkan di satu tujuan
tapi ternyata hidup itu berkelok
yang kadang membuat pening, mual, menubruk pembatas jurang diri
Tapi mengapa bila hidup ini tetap berkelok-kelok
seperti pergi tanpa peta
akan tak henti henti tersesat
di belantara dosa yang sama
Mungkin benar kata Ayah
hidup adalah sekolah paling mendidik
untuk dapat nilai terbaik, kau harus belajar lebih banyak
agar tak ketinggalan kelas melulu
Dan aku, murid terlama yang tak pernah lulus ujian
Sarjo, 13 September 2021
Baca juga: puisi Dermaga Bisu di sini
0 Komentar