Yang Tak Memilih Rupa (Puisi)

 
Ilustrasi: pixabay.com




Yang Tak Memilih Rupa

Mentari itu bersinar
tanpa peduli terangnya 
bisa kulihat atau tidak
seperti doa 
yang tak memilih rupa

Impianku tetap tinggi menjulang
meski ada yang merendahkan
kulangitkan berulang-ulang 
sekuat angin bertiup kencang
mengetuk pintu Tuhan

Kuraba-raba kertas
maksud hati hendak menggores
bait-bait puisi
lalu kubacakan padamu 
agar kau tahu 
caraku memahami bahasamu

Ibu, satu kalimat telah berhasil kutulis
sebagai capaianku hari ini
"Aku mencintaimu"
Apa aku mesti melihatmu
untuk bisa dianggap ada?

Sarjo, 28 Juli 2021



Lemari Tua

Aku resah memandang kakinya lemah
menumpuk tabungan sejarah 
berdebu di tengah anak anak yang memicing
buta pendidikan

Tahun tahun berganti gugurkan adab
sedang di tubuhnya buku telah berkutu
tak tersentuh

Rak rak itu serupa pajangan tak bermakna
padahal segudang pengetahuan memekik minta dibaca
tapi telinga yang terbuka 
telah tertutup rapat
seperti pintu kehilangan kunci

Aku kembali memandang rupanya yang lesuh
ketika seorang anak membanting sapu 
tak diberi uang
lalu rak itu patah, memuntahkan segala isinya
sebelum sempat berkata padaku
"Bacalah!"

Sarjo, 24 April 2021



Cinta Dalam Ragaku

Kita telah diciptakan sebagai satu tubuh utuh
di mana namamu bak jantung 
memompa rasa 
dan darahku menyatu dalam raga cinta
peluru-peluru zionis tak akan bisa memutus ikatan kita

Mata ini, turut menemani matamu menitikkan hujan
telinga pun ikut mendengar dentuman, jeritan, yang kerap menyayat
dan jemariku siaga membalut duka citamu 

Doa-doa terus membasahi bibir
kukemas untukmu dalam sujud panjang
sebagaimana ibu mendoa
meminta perisai bagi anak-anaknya

Aku mencintaimu seperti cintamu membentengi rumah suci

Sarjo, 17 Juni 2021



Musafir 1

Kita berjalan menyusuri padang kehidupan
memikul butiran pasir kenangan
paling dosa 
dalam tiap-tiap detak jantung waktu 

Di sepanjang perjalanan, kaki kerap melangkah tak seirama suara hati
saat fatamorgana dunia menyilau
dan kita tersesat jauh dalam rimbanya

Kau terpesona seperti Hawa yang memetik khuldi
sedang aku meragu, bertanya pada debar jantung
"Apa ini halal?"

Sebelum semua terjawab, akal mesti sepakat 
"Kita ini hanya musafir di tengah padang, akan pergi saat tiba waktunya."

Sarjo, 15 Maret 2021



Kursi

Anak berseragam merah putih bercerita padaku 
ia belajar dengan menumpang duduk di bangku teman
orang orang berebut dan melabeli kursi dengan nama masing masing
dan yang lain tak boleh meminjam 
tanpa terlebih dahulu membantu kerja tugas dari guru

Tetiba ingatanku merambah 
membuka cerita lama
belajar dengan buku di lantai
sambil meliput penjelasan guru
yang ilmunya pelan pelan luntur
aku pun jarang memiliki kursi
di sekolah
sebab kutahu memilikinya tak akan bisa mengubah garis nasib

Aku juga pernah berebut kursi
mengambil posisi paling depan
tapi ternyata kursi itu mengantarkan hidupku di masa sekarang 
menjadi seseorang yang tak berkursi 
dan pengangguran

Sarjo, 09 09 2021



Di Persimpangan

Aku di sini
di persimpangan masa lalu masa depan
berhenti melangkah
menelisik rambu rambu
hening, tak ada yang berlalu

Dulu, kupikir hidup ini lurus
selalu mengarahkan di satu tujuan
tapi ternyata hidup itu berkelok
yang kadang membuat pening, mual,  menubruk pembatas jurang diri

Tapi mengapa bila hidup ini tetap berkelok-kelok
seperti pergi tanpa peta
akan tak henti henti tersesat
di belantara dosa yang sama

Mungkin benar kata Ayah
hidup adalah sekolah paling mendidik
untuk dapat nilai terbaik, kau harus belajar lebih banyak
agar tak ketinggalan kelas melulu

Dan aku, murid terlama yang tak pernah lulus ujian

Sarjo, 13 September 2021






Baca juga: puisi Dermaga Bisu di sini

Posting Komentar

0 Komentar