Pagi di Laman
Embun menempel di daun itu
melelehkan impianku yang membeku
beningnya sebening airmata ibu
menunggu si sulung
mengetuk pintu tanah lahir
Kusentuh, terucap namaMu
dada bergetar bagai petir
sepasang mata meneteskan gerimis
yang sebelumnya tak pernah
jatuh sepagi ini di lamanku
Embun itu
seperti diriku yang tumbuh
di ladang kesementaraan
memupuk impian selangit
tetapi
kelak lenyap ditiup angin maut
Sarjo, 24 Februari 2022
Mengeja Nama
Pada kitab kata
namaMu, alif tegak yang sendiri
berdiri di takhta tertinggi
kusebut berulang-ulang sebab lidah tak fasih mengucap kasih
Tuhan menegurku dalam senyap
saat mata bersaksi
ribuan nyawa telah lenyap
Tersadar!
merenungi azan menggema
memanggil untuk bersimpuh
dan namaMu masih terbata-bata kuucap dalam lingkaran tasbih
Pada kitab kata
kau mengajariku riwayat nyawa
bahwa yang lahir dan membenam
adalah kendaliMu
tapi mengapa aku masih ingkar?
Sarjo, Mei 2021
Angin Malam
Angin malam menepuk punggung ranting
menampar wajahku
setelah menampar wajahmu
atau wajah nelayan di tengah ayunan ombak
Angin malam menggugur dosa-dosa
bertebaran di laman
seperti debu jalanan
menyertai langkahku
Angin malam itu
adalah puisimu yang tak selesai kubaca
Sarjo, 14 Januari 2022
Lagu Kesunyian
Aku merindu dalam hening,
seperti halnya seorang anak mengharapkan bapaknya kembali setelah pergi,
Di mana kata pergi kerapkali membuat dada sesak, mata sembab, dan tidur tak jelas.
Begitulah!
Sepi berkali-kali mengajariku cara memainkan melodi kenangan,
Ketika lirik sendu bukan lagi hal paling menarik,
Tetapi bagaimana nada-nada bahagia bisa kembali berdendang.
Barangkali, bukan hanya aku yang percaya, jikalau
lagu dan kesunyian benar-benar menjelma ramuan kepahitan dalam secangkir kopi para melankolis yang patah hati,
Yang kadang memberi inspirasi agar lekas pulang setelah hilang.
Sarjo, 26 Oktober 2019
Bukan Mainan
Anak kecil tersengut-sengut
pulang dengan mainan patah
seorang teman merusaknya.
tangisnya menderas seperti hujan di halaman
beri simbol kebencian yang membanjiri kepalanya
Dulu aku pun begitu
terisak-isak dalam ruang kelas
teman sebangku mengataiku bebal
seperti pisau ibu yang tumpul
tak ada guna
Aku kembali dengan ingatan trauma.
ingin kuhapus nama-nama menyakitkan dalam pikiran
tapi lukanya semakin lekat
menyayat
Kucoba acungkan jari kelingking
mengemas kenang lalu pergi
ke tempat orang-orang dewasa yang waras
tapi mengapa hati selalu saja
dijadikan mainan
sedang aku bukan anak kecil lagi
Sarjo, 05 September 2021
Baca juga: puisi Yang Tak Memilih Rupa di sini
0 Komentar