Pagi di Laman (Puisi)

Ilustrasi: pixabay.com

 

Pagi di Laman

Embun menempel di daun itu
melelehkan impianku yang membeku
beningnya sebening airmata ibu
menunggu si sulung 
mengetuk pintu tanah lahir

Kusentuh, terucap namaMu
dada bergetar bagai petir
sepasang mata meneteskan gerimis 
yang sebelumnya tak pernah 
jatuh sepagi ini di lamanku

Embun itu
seperti diriku yang tumbuh 
di ladang kesementaraan
memupuk impian selangit
tetapi 
kelak lenyap ditiup angin maut

Sarjo, 24 Februari 2022



Mengeja Nama

Pada kitab kata
namaMu, alif tegak yang sendiri
berdiri di takhta tertinggi
kusebut berulang-ulang sebab lidah tak fasih mengucap kasih

Tuhan menegurku dalam senyap
saat mata bersaksi
ribuan nyawa telah lenyap

Tersadar!
merenungi azan menggema 
memanggil untuk bersimpuh
dan namaMu masih terbata-bata kuucap dalam lingkaran tasbih

Pada kitab kata 
kau mengajariku riwayat nyawa
bahwa yang lahir dan membenam 
adalah kendaliMu
tapi mengapa aku masih ingkar?

Sarjo, Mei 2021



Angin Malam

Angin malam menepuk punggung ranting
menampar wajahku
setelah menampar wajahmu
atau wajah nelayan di tengah ayunan ombak

Angin malam menggugur dosa-dosa
bertebaran di laman
seperti debu jalanan 
menyertai langkahku

Angin malam itu
adalah puisimu yang tak selesai kubaca

Sarjo, 14 Januari 2022



Lagu Kesunyian

Aku merindu dalam hening,
seperti halnya seorang anak mengharapkan bapaknya kembali setelah pergi,
Di mana kata pergi kerapkali membuat dada sesak, mata sembab, dan tidur tak jelas.

Begitulah!
Sepi berkali-kali mengajariku cara memainkan melodi kenangan,
Ketika lirik sendu bukan lagi hal paling menarik, 
Tetapi bagaimana nada-nada bahagia bisa kembali berdendang.

Barangkali, bukan hanya aku yang percaya, jikalau
lagu dan kesunyian benar-benar menjelma ramuan kepahitan dalam secangkir kopi para melankolis yang patah hati,
Yang kadang memberi inspirasi agar lekas pulang setelah hilang.

Sarjo, 26 Oktober 2019



Bukan Mainan

Anak kecil tersengut-sengut
pulang dengan mainan patah
seorang teman merusaknya.
tangisnya menderas seperti hujan di halaman
beri simbol kebencian yang membanjiri kepalanya

Dulu aku pun begitu
terisak-isak dalam ruang kelas
teman sebangku mengataiku bebal
seperti pisau ibu yang tumpul
tak ada guna

Aku kembali dengan ingatan trauma.
ingin kuhapus nama-nama menyakitkan dalam pikiran
tapi lukanya semakin lekat 
menyayat

Kucoba acungkan jari kelingking
mengemas kenang lalu pergi 
ke tempat orang-orang dewasa yang waras
tapi mengapa hati selalu saja
dijadikan mainan
sedang aku bukan anak kecil lagi

Sarjo, 05 September 2021





Baca juga: puisi Yang Tak Memilih Rupa di sini














Posting Komentar

0 Komentar