Perempuan di Sudut Kota
Aku melihatnya merenung
di bawah lampu jalan sepi
Duduk menatap kilau bintang.
Barangkali ia ingin rehat
Dari riuhnya gelisah yang sesak
Perempuan di sudut kota
Bermatakan maskara sendu
Dengan wajah berpupur kepalsuan
Dan bibir bergincu darah
dari luka batinnya sendiri
Ia bingung, memangku beban masa depan
anaknya yang ingusan
Tak paham dunia malam sang ibu
Yang ditinggal kekasih demi kekasih lain
Di sudut kota paling lelah
Perempuan menjelma tulang punggung paling kokoh
Bagi punggung-punggung anaknya
Menjual suara di setiap pesta
Yang mungkin ditolak semesta
Sarjo, 21 Juni 2020
Kotak Mimpi
Kutabung harapan dalam bilik
saat memilih gambar paling akhir
di lembar peraduan
Bilik itu berisi suara-suara
yang kelak disalahkan
ketika amanah luruh dari keranjang tubuh
dan janji hanya di ujung lidah
Tetapi impian terlanjur tumpah
dalam kotak suara yang bisu
menyisakan sesal tak bertepi
yang selalu terulang lima tahun sekali
Dari kotak itu pula
kata-kata manis lahir
hingga langkah sebatas tombol
dikendalikan oleh mereka yang berdasi
Sarjo, 09 Desember 2020
Bengkel Hati
Dalam kegersangan hidup
Adakah bengkel yang bisa kutuju
Untuk menambal hati,
yang tertusuk jarum keresahan
Kepada dokter aku bertanya
"Adakah obat paling ampuh menghapus ingatan"
Ia pun menatapku penuh makna
"Kau tak perlu menghilangkan jejak-jejak ingatanmu, yang kau butuhkan hanyalah obat lelap, untuk menenangkan pikiranmu dari riuhnya perasaan.
Tapi, obat itu reaksinya sementara bagi lukaku yang menetap.
Sepertinya aku harus mendengarkan kidung guru agamaku yang merdu, mungkin saja dia punya penawar
Pada guruku yang maha tahu, kutemukan secercah pencerahan
"Mintalah hati baru pada Tuhanmu yang maha baik dan benar!"
Yah!
Obat, doa, usaha adalah jalan lurus melupakanmu.
Sarjo, 07 April 2020
Kepala Batu
Sekantong ego terjual hari ini
Setelah ia menerobos lampu larangan
di perempatan zona merah
dan membayarnya dengan alasan
Ia suka bermain-main di jalan itu
Tapi tak pernah ingin dipermainkan
apalagi soal aturan,
Sampah!
Katanya mendidih,
Komat-kamit.
Amit-amit!
Ia pergi tanpa pamit.
Sarjo, 22 Mei 2020
Bermain Api
Senyum berubah abu
bekas pembakaran sampah yang apinya berasal dari bara masa lalu
Kunyalakan tanpa ragu
Tanpa tahu memadamkan
Api itu membakarku tak henti-henti
meski hujan menyirami
Sebab kesalahan menjelma kayu
Senyum berubah abu
Setelah asap kenangan mengepul
Sarjo, 14 Desember 2020
Belajar Menabung(Sabar)
Di tungku kegentingan,
Ia belajar menanak seadanya
Sebagai hidangan purna
bagi jiwa yang setengah matang
dikoyak suasana,
"Aku menabung ingin ini-itu, hingga suatu saat celengan rasaku memecahkan dirinya sendiri"
Di atas meja makan tak berselera itu, anaknya melukis ragam makanan dalam angannya.
"Tuhan, diamkanlah gemuruh lapar dalam perutku, semoga nikmat syukur hari ini tahu cara mengukur cukup-lebihnya.
Sarjo, 09 April 2020
Baca juga: puisi Kepada Telepon di sini
0 Komentar