Tak Lagi Hijau (Puisi)

 
Ilustrasi: Pixabay.com



Tak Lagi Hijau

Zaman makin dewasa
setelah pelan-pelan kecanggihan mengikis pribadi kita
layaknya anak kecil
pikiran pun beracun serakah
hingga hijaumu digunduli
ditanami gedung-gedung menjulang

Kulihat orang-orang dengan alat besar
meratakan tubuhmu 
di pinggir jalan itu
burung-burung kehilangan rumah, ibu gerah kepanasan, dan kau tenang dalam kebodohan

Di musim kemarau ini
Kauhabiskan peluh sekadar mengeluh
katamu "Matahari makin menyengat, apa bumi akan kiamat?"

Entahlah, pendidikan kali ini tak mengajarkan kita cinta
atau cinta yang memang padam di hati kita
hingga begitu tega merusak hidup seluruh alam

Seperti kata ibu guru waktu itu
"menebang pohon sama saja merenggut napas seseorang"

Di zaman ini
Kita memang ingin hidup damai
tapi tak pernah berhenti membuat kerusakan.
Apakah kita berakal?

Sarjo, 22 April 2021



Sampah 1

Tubuhku berserakan
di jalan, pasar, taman.
Beterbangan hingga di depan kakimu
Tapi mata cuek itu pura-pura tak melihat

Ia pun menginjak-injak temanku
Tanpa sebilah salah di dadanya
Membiarkan kami dirubung lalat-lalat lapar
Egois! 
Setelah menikmati makanan, ia melemparkan tubuh-tubuh kami di sembarang tempat.

Di sore yang mendung,
Langit menangis, menumpahkan tangisnya di bendungan
Membawaku menuju genangan
Lalu menyumpal selokan-selokan

Kau histeris,
Mencari sosok yang entah
Sebut-sebut kami penyebab bencana
Egois!

Kau; sampah kota yang suka menyampah.
 
Parepare, 10 Juli 2019




Kalender Kematian

Waktu terus mengalir
Menyeduh angka-angka kalender
di cangkir usia
Lalu mengubah rupa:
cantik yang kaurawat telah menua

Kemarin berlalu dengan foya-foya
Hari ini berlangsung penuh sesal
Dan besok misteri yang tanda tanya

Bulan, datang dan pergi 
tak berpamitan 
Tapi kau hanya diam tergagu 
Menunggu tiket kematian

Parepare, 25 Juni 2019



Terlambat

Untuk semua pemuda 
yang memelihara enggan dalam hatinya

Pagi akan berlalu 
Senja pasti bertamu
Petang selalu membayang

Senggang kaubuang-buang
Dan menumpuk harapan 
di meja masa depan
Hingga tiba usia beruban 
Hidupmu melarat tanpa simpanan

Menyesal!
Tinggal seruan paling riuh dalam dada
Hendak mengulang pagi yang hijau 
Sedang tubuh telah ringkih,
tak berdaya

Terlambat,
Tak ada ruang pengaduan
Bagimu yang ketinggaan kereta waktu

Sarjo, 08 Desember 2019



Sampah 2

Lidah itu tak tahu
kata-kata yang disuarakan 
serupa sampah
menyumbat telinga

Ia mengotori beranda dada
lalu menitikkan gerimis di mata
yang mungkin orang-orang
di sampingnya tak mengerti 
pisau mana melukainya
"Buanglah kata-kata di tempat yang tepat,
agar tak ada hati yang tercemar" pesanmu

Sarjo, 26 Juli 2021




Baca juga: puisi Matahari Tak Terbit di sini


Posting Komentar

0 Komentar