Bercermin di Wajahmu (Puisi)

 
Ilustrasi: pixabay.com




Bercermin di Wajahmu

Langit pagi suram
air jatuh dari matanya
Angin membelai daun
Burung-burung berselimut di ranting
Kaupeluk harapan tanpa sarapan
bergegas mencari naungan

Cangkul di tanganmu terharu
memandang raut keriput
tak kenal lesu
menanam biji kehidupan 

Semut berbaris tersenyum
hanyut dalam pekat kopi
kau senyap menahan bising lambung
menunggu tangisan reda

Aku silau 
Wajahmu matahari 
memantulkan daya dalam kacaku

Sarjo, 01 Oktober 2020



Guru

Pada remang langkah 
sinarnya menuntun mata 
yang buta akan keangkuhan

Ia, guru melunakkan keras batu
dengan sebiji kelembutan 
agar hormatku tak selalu di tiang bendera

Ada hal paling raja selain derajat ilmu 
ialah lautan akhlak 
yang tak semua orang 
mampu menyelami

Sarjo, 07 Desember 2020



Lilin Kecil

Di bawah kolong langit
Ia duduk menengadah
beralas koran bekas paling kusut
ditemani sepasang kaleng kosong
Merapal cita-cita yang muskil

Sesekali ia melirik anak-anak berseragam putih merah yang berlalu dengan riang
Menjinjing tas berisi tumpukan harapan
yang kelak menjadi penerang

Ia pun menanam impian paling menara
memakai seragam sekolah dengan gagah
Namun, itu bagai fatamorgana baginya
yang hanya membayang-bayang di ujung mata

Di bawah kolong langit
Bensin bola hitamnya meleleh
Meratapi nasib yang malang
dan tak kunjung hilang

Jauh di seberang jalan
Adiknya berdendang menebar senyuman
Menunggu tangan-tangan iba 
membagi kasih paling tulus

Jiwanya terasa tenang 
Ketika ibu memeluk lalu menguatkan
dengan kata-kata syukur
Pun tetap mengingat nama tuhan 
di setiap jejak napas

Di bawah kolong langit yang kelabu
Ada ibu memendam tangis
Memungut peluh yang jatuh satu-satu dari keranjang tubuhnya
Demi membesarkan lilin kecil 

Kadang-kadang rapuh 
Saat lilin-lilin itu patah
dan tak sanggup lagi menerangi hidupnya sendiri
lalu bangkit kembali dengan satu kekuatan
"Tuhan pemilik cahaya paling terang"

Di bawah kolong langit yang hitam
Keluarga pemulung bertahan dalam pelukan angan-angan
"Esok akan ada lentera bersinar"

Entah hati siapa yang akan tersentuh
Memberi ruang untuk hidupnya yang gelandang
Sebelum lilin kecil meleleh
Membakar tubuhnya  sendiri

Mamuju Utara, 10 Agustus 2020



Tragedi September

Hitam mengepul, 
berarak di atas kepala.
Singa-singa berbaris di sepanjang garis putih beraspal
Menumpahkan seruan-seruan paling bara,
paling menyayat, 
meski merekalah 
yang disayat-sayat.

Rintik merah pun berjatuhan,
Membasahi tanah pertiwi paling malang.
Dan letusan-letusan mematikan itu
tak henti-henti menyerang
Hingga harus ada yang berpulang

Andai merah putih bisa bicara,
Ia akan mengutuk tuan-tuan 
yang menyebut diri paling benar.
Lalu membuka topeng kepura-puraan
di depan gedung kebanggaanmu.

Entah siapa yang benar-benar nasionalis.
Apakah mereka yang menyalak di jalan
Ataukah  yang duduk di kursi berlabel wakil rakyat?

Sarjo, 14 Oktober 2019



Air Mata di Hari Merdeka

Perayaan tahunan dimeriahkan
Berhias segala hiasan.
Barisan dirapatkan
Merah putih dikibarkan.

Di sana mereka teriak merdeka
Di sini aku menjerit kesakitan
memungut kardus bekas,
demi menyambung kehidupan

Padamu negeri yang santun
Dengarkan aku melagukan kemerdekaanmu
di bawah kolong jembatan,
beralaskan koran.

Di tempat ini pun,
lidahku fasih membaca pancasila.
Berharap sila kelima memberi keadilan
Bagi diriku yang tetap ditatap
Sebelah mata.

Parepare, 17 Agustus 2019





Baca juga: puisi Tak Kasat Mata di sini






Posting Komentar

0 Komentar