Bercermin di Wajahmu
Langit pagi suram
air jatuh dari matanya
Angin membelai daun
Burung-burung berselimut di ranting
Kaupeluk harapan tanpa sarapan
bergegas mencari naungan
Cangkul di tanganmu terharu
memandang raut keriput
tak kenal lesu
menanam biji kehidupan
Semut berbaris tersenyum
hanyut dalam pekat kopi
kau senyap menahan bising lambung
menunggu tangisan reda
Aku silau
Wajahmu matahari
memantulkan daya dalam kacaku
Sarjo, 01 Oktober 2020
Guru
Pada remang langkah
sinarnya menuntun mata
yang buta akan keangkuhan
Ia, guru melunakkan keras batu
dengan sebiji kelembutan
agar hormatku tak selalu di tiang bendera
Ada hal paling raja selain derajat ilmu
ialah lautan akhlak
yang tak semua orang
mampu menyelami
Sarjo, 07 Desember 2020
Lilin Kecil
Di bawah kolong langit
Ia duduk menengadah
beralas koran bekas paling kusut
ditemani sepasang kaleng kosong
Merapal cita-cita yang muskil
Sesekali ia melirik anak-anak berseragam putih merah yang berlalu dengan riang
Menjinjing tas berisi tumpukan harapan
yang kelak menjadi penerang
Ia pun menanam impian paling menara
memakai seragam sekolah dengan gagah
Namun, itu bagai fatamorgana baginya
yang hanya membayang-bayang di ujung mata
Di bawah kolong langit
Bensin bola hitamnya meleleh
Meratapi nasib yang malang
dan tak kunjung hilang
Jauh di seberang jalan
Adiknya berdendang menebar senyuman
Menunggu tangan-tangan iba
membagi kasih paling tulus
Jiwanya terasa tenang
Ketika ibu memeluk lalu menguatkan
dengan kata-kata syukur
Pun tetap mengingat nama tuhan
di setiap jejak napas
Di bawah kolong langit yang kelabu
Ada ibu memendam tangis
Memungut peluh yang jatuh satu-satu dari keranjang tubuhnya
Demi membesarkan lilin kecil
Kadang-kadang rapuh
Saat lilin-lilin itu patah
dan tak sanggup lagi menerangi hidupnya sendiri
lalu bangkit kembali dengan satu kekuatan
"Tuhan pemilik cahaya paling terang"
Di bawah kolong langit yang hitam
Keluarga pemulung bertahan dalam pelukan angan-angan
"Esok akan ada lentera bersinar"
Entah hati siapa yang akan tersentuh
Memberi ruang untuk hidupnya yang gelandang
Sebelum lilin kecil meleleh
Membakar tubuhnya sendiri
Mamuju Utara, 10 Agustus 2020
Tragedi September
Hitam mengepul,
berarak di atas kepala.
Singa-singa berbaris di sepanjang garis putih beraspal
Menumpahkan seruan-seruan paling bara,
paling menyayat,
meski merekalah
yang disayat-sayat.
Rintik merah pun berjatuhan,
Membasahi tanah pertiwi paling malang.
Dan letusan-letusan mematikan itu
tak henti-henti menyerang
Hingga harus ada yang berpulang
Andai merah putih bisa bicara,
Ia akan mengutuk tuan-tuan
yang menyebut diri paling benar.
Lalu membuka topeng kepura-puraan
di depan gedung kebanggaanmu.
Entah siapa yang benar-benar nasionalis.
Apakah mereka yang menyalak di jalan
Ataukah yang duduk di kursi berlabel wakil rakyat?
Sarjo, 14 Oktober 2019
Air Mata di Hari Merdeka
Perayaan tahunan dimeriahkan
Berhias segala hiasan.
Barisan dirapatkan
Merah putih dikibarkan.
Di sana mereka teriak merdeka
Di sini aku menjerit kesakitan
memungut kardus bekas,
demi menyambung kehidupan
Padamu negeri yang santun
Dengarkan aku melagukan kemerdekaanmu
di bawah kolong jembatan,
beralaskan koran.
Di tempat ini pun,
lidahku fasih membaca pancasila.
Berharap sila kelima memberi keadilan
Bagi diriku yang tetap ditatap
Sebelah mata.
Parepare, 17 Agustus 2019
Baca juga: puisi Tak Kasat Mata di sini
0 Komentar