Dokumen pribadi |
Pantai Sarjo, merupakan pantai yang berada di perbatasan Mamuju Utara-Donggala. Selain sebagai tempat melaut bagi nelayan, juga dijadikan pelarian untuk anak muda. Di pantai ini, ada beberapa pemandangan unik yang bisa memanjakan mata
Perahu Nelayan
Di pantai ini, perahu nelayan berbaris-baris. Saat subuh, para nelayan turun memancing dengan perahu masing-masing. Saat siang, mereka semua pulang dari tengah lautan, disambut langganan pembeli ikan.
Berbeda lagi ketika sore hari, pesona sunset jadi daya tarik tersendiri bagi kalangan muda mudi. Ada yang fokus memotret senja, ada pula sekadar menatap saja. Selain perahu perahu nelayan, di sini juga terdapat 2 tower, pemancar sinyal ponsel, Telkomsel dan Indosat, yang memudahkan komunikasi antara nelayan dan pembeli ikan untuk dijual kembali, sehingga nelayan nelayan tak perlu lagi memasarkan sendiri hasil tangkapannya.
Kerja sama antara nelayan dan pembeli ikan memang sangat bagus, hanya saja pembeli kurang peduli dengan kebersihan pantai, kadang plastik pembungkus es ikannya dibuang begitu saja, menumpuk sampah. Hanya sebagian orang yang sadar akan pentingnya kebersihan pantai tersebut. Selain itu, ada juga yang dengan bebasnya mengambil pasir, tanpa memikirkan dampaknya kelak.
Perahu nelayan/dokumen pribadi |
Pantai Sarjo yang terletak di dusun Balabonda pantai, kecamatan Sarjo, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat ini dapat dikunjungi melalui jalur darat, dengan kendaraan roda dua atau empat, bagi yang berada di luar daerah.
Tambak
Ketika bertandang ke pantai ini, kita akan melewati rumah warga, beberapa petak tambak di kiri kanan dan sebuah jembatan kecil. Dan lebih serunya, kita akan melihat beberapa rumah burung walet sepanjang jalan.
Di sini, terdapat pelabuhan kecil tempat pelelangan ikan. Penjual dan nelayan tawar menawar harga, sebelum dipasarkan di pasaran. Setelah disetujui, barulah ikan-ikan tersebut diangkut, tetapi nelayan tidak langsung dibayar, nanti setelah ikannya habis terjual.
Mata pencarian terbesar warga di dusun ini selain menjadi petani, adalah nelayan. Menjadi suatu kesyukuran para warga, karena dengan pekerjaan tersebut, mereka bisa mencukupi kebutuhan keluarga, termasuk uang jajan anak anaknya.
Namun, seperti pekerjaan lain, menjadi seorang nelayan pun penuh dengan risiko, harus tahan di tengah gelombang. Selain itu, penghasilan tak menentu, kadang untung kadang juga rugi. Ruginya karena perahu dibelikan bensin, untuk bisa menjelajah jauh mencari ikan, tetapi pulang dengan tangan kosong.
Tambak warga/dokumen pribadi |
Rumah walet |
Tempat pelelangan ikan |
Ada banyak hal yang membuat rasa penasaranku tak henti henti meluap di kampung ini. Tentu dengan berbagai pertanyaan yang kadang jawabannya diterka sendiri. Tentang mengapa pemerintah tak menanggul tepi pantai, mengapa tak ada papan peringatan larangan buang sampah dan menggali pasir, dan mengapa mengapa lainnya yang setidaknya mampu mengurangi pencemaran lingkungan dan masalah lain.
Pagi itu (Minggu, 20 Maret 2022), saya dan orangtua mengunjungi tambak yang lokasinya berdekatan dengan pantai tersebut. Seminggu terakhir, kami setiap hari ke tambak, membersihkan rumput di sekitar pematang. Tambak bapak ini merupakan hasil buatan sendiri, beberapa puluh tahun lalu. Ketika kampung ini masih berawa rawa.
Luas tambak bapak sekitar 2 hektar, dibagi 3 petak. Masing masing petaknya diisi ikan bandeng, udang, dan kepiting. Ini usaha bapak, untuk menghidupi saya, ibu, dan 3 saudaraku.
Awalnya saya berpikir, ikan di tambak sama seperti di laut. Tak diberi makan pun akan tetap hidup. Ternyata beda, ikan di tambak begitu dimanjakan. Diberi makan sesuai takaran, pagi dan sore. Sama halnya dengan udang dan kepiting, harus dirawat sebaik baiknya jika tidak, akan mati. Dan itu menjadi kerugian besar bagi bapak, karena pengeluaran untuk makanan ikan cukup mahal.
Matahari di atas kepalaku makin menyengat. Sekitar sejam memangkas rumput, terdengar odong-odong pemuat pasir melewati tambak. Saya sejenak berhenti membersihkan, lalu berdiri memerhatikan ke arah mana odong-odong tersebut.
Seorang anak muda memarkir odong-odong di depan salah satu tambak warga, ia turun dan mengambil pasir dengan sekop. Tanpa berlama-lama, saya segera memotret dari belakang.
Timbul lagi satu pertanyaan di kepalaku, mengapa anak ini mau saja disuruh muat pasir pakai odong odong? Saya mengenal anak itu, ia adalah ponakan dari tetanggaku, salah satu siswa SMA di kampung ini. Saya berniat memviralkan fotonya di Facebook, tetapi sejenak saya berpikir apa itu perbuatan baik, dan bagaimana akibat setelahnya. Akhirnya saya urungkan niat itu.
Menurut bapak kepala Dusun setempat, setelah saya menceritakan ada warga menggali pasir untuk kepentingan pembangunan rumah dan kepentingan keluarga. Ia berkata, itu bukan yang pertama kali, bahkan beberapa keluarga anak tersebut bergantian mengambil pasir di pantai itu, katanya pasir tersebut adalah milik keluarganya, sudah dibeli beberapa tahun lalu.
Sedangkan pemilik tanah sebelumnya berkata bahwa tanah yang lalu dijual itu sudah tidak ada, dalam hal ini telah dikikis laut. Tetapi
warga tersebut tak peduli, apalagi pasir tersebut dijual per odong-odong dengan harga yang lumayan cukup membeli kebutuhan rumah tangga, sudah menjadi usaha pribadinya.
Anak muda ambil pasir |
Bekas galian pasir |
Saya usul ke pak Dusun, mungkin hal ini bisa diadukan kepada bapak Kepala Desa. Beliau mengatakan sudah berapa kali mengadukan kasus tersebut, dengan alasan jika air laut pasang, tambak dan kuburan umum di sekitar pantai tersebut terendam banjir. Dan sampai saat ini, pak Desa belum merespon hal tersebut baik berupa peringatan atau tindakan yang dapat menghentikan usaha warga menggali pasir.
0 Komentar